Minggu, 07 Desember 2008

Pertumbuhan Pasar Properti di Indonesia : Decoupling atau recoupling?

Sejak pertengahan tahun lalu, banyak kalangan menilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan kembali mengalami masa-masa sulit seiring dengan meningkatnya harga minyak serta komoditas lainnya di pasar Internasional yang ditenggarai akan menjadi pemicu melemahnya pertumbuhan ekonomi global. Keadaan tersebut tentu akan memberi dampak bagi perkembangan sektor bisnis dalam negri termasuk sektor properti. Ditambah lagi dengan masih berlanjutnya dampak krisis subprime mortgage di AS yang terus memakan korban lembaga-lembaga keuangan besar di dunia. Seperti apa dampak yang bisa ditimbulkan dari kedua hal tersebut terhadap pertumbuhan pasar properti di Indonesia? Jones Lang LaSalle, konsultan properti Internasional yang berbasis di Chicago, AS mencoba menguraikannya dalam media briefing yang diadakan di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2008. Selain itu, riset Jones Lang LaSalle juga mem-presentasi-kan analisis prospek pertumbuhan pasar properti menjelang penyelenggaraan Pemilu di tahun 2009 yang
akan datang.
Perkiraan para analis bahwa pertumbuhan ekonomi global di tahun 2008 ini akan melambat tentu bukan tanpa alasan. Dimulai dengan krisis subprime mortgage di AS sejak akhir 2006 lalu, hingga pada melonjaknya harga minyak dan komoditas belakangan ini, resesi yang mungkin terjadi diperkirakan akan melanda seluruh kawasan termasuk Asia. Namun bila dibandingkan dengan kawasan lainnya, dampak resesi di Asia, yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang seperti Indonesia, tidak terlalu besar, kata Lucy Rumantir, Chairman Jones Lang LaSalle Indonesia. Merujuk kepada analisis dari World Bank, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang akan melambat hanya sedikit dalam 2 tahun kedepan. Lucy menambahkan bahwa dampak kenaikan BBM dan komoditas sehari-hari akan lebih berpengaruh bagi sektor bisnis di Indonesia dibanding dengan dampak krisis subprime mortgage di AS. Dengan demikian, lanjut Lucy, di sektor properti, yang kemungkinan lebih sensitif terimbas dampak resesi tersebut adalah sub-sektor yang rentan terhadap faktor inflasi dan suku bunga, yaitu pasar pusat perbelanjaan dan kondominium. Wendy Haryanto, Head of Retail Services, mengatakan bila sekiranya harga-harga barang terus naik, penurunan daya beli konsumen bisa mempengaruhi ekspansi bisnis peritel sehingga berpotensi mempengaruhi tingkat permintaan pasar. Sementara itu, persaingan di pasar kondominium yang sudah ketat bisa menjadi semakin ketat apabila suku bunga terus naik, dimana investor bisa saja mengalihkan investasinya dari properti ke deposito atau instrumen perbankan lainnya, kata Anton Sitorus, Head of Research di Jones Lang LaSalle Indonesia. Sementara di pasar perkantoran komersial, Nick Van Helden, Country Head Jones Lang LaSalle Indonesia menjelaskan bahwa terlepas dari kemungkinan dampak resesi ekonomi, permintaan dari tenant-tenant besar untuk pindah ke gedung baru yang lebih berkualitas akan terus tumbuh dan mendukung laju permintaan pasar.

Menanggapi pertanyaan sekitar dampak Pemilu 2009 terhadap pertumbuhan pasar properti di Indonesia, Lucy Rumantir mencoba menjelaskannya dengan mengambil contoh pertumbuhan properti di tahun 2004 - ketika Indonesia pertama kali mengadakan Pemilu secara langsung. Pada periode itu justru permintaan di pasar kondominium yang dinilai dari tingkat penjualan dan peluncuran proyek baru meningkat tajam. Bila dikaji lebih dalam, pada saat itu memang ada 2 faktor utama penyebab pertumbuhan tersebut, yaitu tingginya permintaan yang tertahan sejak krisis 1998 (pent-up demand) dan rendahnya suku bunga yang membuat investor beramai-ramai mengalihkan portofolionya ke sektor properti, kata Vivin Harsanto, Head of Strategic Consulting di Jones Lang LaSalle Indonesia. Namun lanjutnya, secara umum sentimen pasar menjelang Pemilu 2004 tidak seburuk yang diperkirakan sebelumnya, sehingga boleh dikatakan bahwa sektor properti bisa melepaskan diri (decoupling) dari isu politik menjelang Pemilu tersebut. Untuk Pemilu 2009 yang akan datang ini, Lucy Rumantir berkeyakinan bahwa respon yang sama akan ditunjukkan oleh pasar properti Indonesia, dimana isu-isu politik diperkirakan tidak akan banyak mempengaruhi pertumbuhan pasar properti. Namun bedanya, kata Lucy, bila di tahun 2004 lalu, pent-up demand sedemikian tinggi dan suku bunga berada di level terendah dalam sejarah, maka dalam 2 tahun kedepan ini pasar properti akan lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya persaingan dalam merebut konsumen yang semakin lama semakin kritis. Memang sektor properti di Indonesia belum bisa melepaskan diri sepenuhnya terhadap isu-isu sosial-politik di masyarakat, namun hal itu TIDAK berarti bahwa kedepannya korelasi antara kedua hal tersebut akan semakin kuat (recoupling).

0 komentar: