Minggu, 07 Desember 2008

Krisis di Amerika, Imbasnya Ke Properti Indonesia

Amerika mengalami gejolak ekonomi. Bailout Plan (BLBI versi Amerika) ternyata juga gagal mengembalikan kepercayaan perekonomian Amerika. Hasilnya bursa saham dunia anjlok. Tak terkecuali Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sampai dengan hari ini, 9 Oktober 2008, masih suspend. Tiba-tiba banyak orang miskin akibat penurunan IHSG sampai dengan 140 poin.

Imbas terhadap BI Rate / SBI adalah peningkatan menjadi 9,50%. Padahal Bank Central negara lain justru menurunkan suku bunganya. Kata pakar bursa saham di Indonesia, ini karena Indonesia bergantung dari impor. Jika SBI tidak naik, maka harga-harga akan mahal dan terjadi inflasi karena mahalnya dollar. Pilihan yang pahit! Pertanyaan saya adalah tidak adakah cara lain? Jawabnya sistem perekonomiannya yang bobrok. Duh!

Naiknya SBI tentu saja meningkatkan suku bunga kredit. Untuk suku bunga KPR saat ini berada di kisaran 14,75% sampai dengan 17%. Suku bunga KPR Bank BTN tepat berada di 14,75% sedangkan Bank Niaga sudah menembus 16,5%. Akibatnya perbankan Indonesia tidak berkecenderungan menjual produk pembiayaan namun menjual produk funding, yang suku bunganya lebih menarik.

Apa imbasnya untuk dunia properti?

Jelas! Industri sektor riil akan tertekan dengan kenaikan SBI ini. Khususnya dunia properti yang sudah dihajar dengan kenaikan BBM, ditambah dengan kenaikan harga material, ditambah dengan suku bunga KPR yang menjadi tidak menarik di mata konsumen, ditambah dengan kecenderungan stop lending KPR oleh perbankan. Ibarat bertinju, sudah kena jab, masih kena upper cut. Syukur-syukur masih bisa bertahan dengan double cover, kalau tidak, TKO di ronde-ronde awal.

Sekedar info yang baru saja saya baca dari detikfinance, bahwa harga semen cenderung meningkat dan para kontraktor mengancam untuk putus kontrak. Duh!

Sedih memang. Di saat properti - menurut saya - akan bangkit lagi setelah jab dari BBM yang cukup membuat berdarah-darah. Ternyata dihadapkan dengan suku bunga tinggi dan masih dihadapkan dengan harga material yang cenderung meningkat terus. Padahal minyak malah turun!

Kembali lagi ke imbas terhadap properti Indonesia. Kenaikan SBI akan menekan industri properti karena suku bunga kredit konstruksi pasti akan mengikuti. Kenaikan suku bunga ini tentunya akan menekan margin keuntungan pelaku industri properti yang memang sudah menipis sejak upper cut dari kenaikan material akibat jab dari BBM.

Pasar properti juga akan turun karena suku bunga KPR yang berkisar 14,75% s.d. 17% (bisa menembus di atas 17%) menjadi tidak menarik di mata calon konsumen karena tingginya cicilan. Bahkan bagi dunia perbankan, hal ini juga tidak menguntungkan karena setiap kenaikan suku bunga akan meningkatkan potensi non performing loan.

Bagaimana dengan suku bunga deposito? Otomatis akan naik. Nah, kenaikan ini juga akan menekan industri properti. Karena konsumen atau investor properti melihat suku bunga deposito lebih menarik. Artinya orang yang pegang uang lebih baik uangnya ditaruh di bank yang bunganya tinggi daripada di properti. Atau orang yang ingin beli rumah saat ini, bisa berbelok arah melihat deposito berbunga tinggi.

Pelaku industri properti akan cenderung wait and see, melihat perekonomian saat ini. Industri properti dalam arti kata membeli, membangun dan menjual kembali. Proses membangun dan menjual kembali saat ini tidak menguntungkan dan cenderung stagnan. Di sinilah judul wait and see.

Bagaimana dengan proses membeli? Membeli barang mentah alias tanah kosong, justru ada kemungkinan bergairah. Karena banyak orang membutuhkan hard cash. Hard cash bisa didapat dari menjual aset-aset yang salah satunya adalah tanah. Pebisnis properti yang sudah berpengalaman, sungguh sadar bahwa properti bukan bisnis yang cepat, maka meletakan uang dalam bentuk tanah, bisa dilakukan saat ini dan memperolehnya di tahun-tahun kemudian. Di sinilah celahnya…

Kalau Anda bagaimana? Mari kita berbagi…

1 komentar:

david santos mengatakan...

Semoga minggu mu menyenangkan