Minggu, 07 Desember 2008

Suku Bunga KPR Merangkak Naik

NAIKNYA suku bunga simpanan di bank, mau tidak mau ikut
mendorong tingginya suku bunga kredit yang disalurkan. Termasuk suku bunga
kredit pemilikan rumah (KPR) yang sekarang ada di kisaran 13%-16%.

Kenaikan tersebut, menurut General Manager Consumer Banking KPR PT Bank Negara
Indonesia (BNI) Diah Sulianto, jelas berdampak pada kemampuan mencicil
masyarakat. Khususnya yang berpenghasilan Rp2 juta ke bawah maupun yang membeli
rumah dengan harga di atas Rp2 miliar.

Sementara itu, Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Iqbal Latanro mengakui
bahwa suku bunganya masih berada di posisi 13%-14%. Jumlah tersebut relatif
rendah jika dibandingkan dengan bank lain. Namun, menghadapi naiknya suku bunga
simpanan, Iqbal mengakui mereka akan mengevaluasi kembali, apakah akan menaikkan
suku bunga atau tidak.

Sementara itu, menanggapi krisis finansial di Amerika Serikat yang dipicu oleh
kredit macet perumahan di sana, Iqbal mengatakan saat ini pihaknya mulai
mengurangi fleksibilitas dan mengutamakan unsur kehati-hatian.

Hal senada juga diungkapkan Diah. Pihaknya saat ini betul-betul selektif memilih
nasabah yang akan mengajukan kredit. Menurutnya, sebelum meluncurkan kredit,
nasabah harus diwawancara, dicek penghasilannya, diutamakan untuk pembelian
ramah pertama, dan besar angsuran tidak boleh lebih dari 40% atas penghasilan.

Pada kesempatan yang sama. Iqbal juga mengungkapkan, BTN akan mulai
mendiversifikasi kreditnya tidak hanya di sektor perumahan, tetapi juga dengan
sasaran usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Kami akan mengurangi porsi di
sektor mortgage sampai dengan 75% dari posisi saat ini 95%,” kata Iqbal seusai
penandatanganan kerja sama dengan PT Permodalan Nasional Madani (PNM).

Iqbal menolak apabila langkah diversifikasi kredit ini dianggap sebagai dampak
dari kasus subprime mortgage di AS, tetapi lebih untuk mengurangi risiko
seandainya sektor perumahan mengalami gangguan.(Media Indonesia)

Krisis di Amerika, Imbasnya Ke Properti Indonesia

Amerika mengalami gejolak ekonomi. Bailout Plan (BLBI versi Amerika) ternyata juga gagal mengembalikan kepercayaan perekonomian Amerika. Hasilnya bursa saham dunia anjlok. Tak terkecuali Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sampai dengan hari ini, 9 Oktober 2008, masih suspend. Tiba-tiba banyak orang miskin akibat penurunan IHSG sampai dengan 140 poin.

Imbas terhadap BI Rate / SBI adalah peningkatan menjadi 9,50%. Padahal Bank Central negara lain justru menurunkan suku bunganya. Kata pakar bursa saham di Indonesia, ini karena Indonesia bergantung dari impor. Jika SBI tidak naik, maka harga-harga akan mahal dan terjadi inflasi karena mahalnya dollar. Pilihan yang pahit! Pertanyaan saya adalah tidak adakah cara lain? Jawabnya sistem perekonomiannya yang bobrok. Duh!

Naiknya SBI tentu saja meningkatkan suku bunga kredit. Untuk suku bunga KPR saat ini berada di kisaran 14,75% sampai dengan 17%. Suku bunga KPR Bank BTN tepat berada di 14,75% sedangkan Bank Niaga sudah menembus 16,5%. Akibatnya perbankan Indonesia tidak berkecenderungan menjual produk pembiayaan namun menjual produk funding, yang suku bunganya lebih menarik.

Apa imbasnya untuk dunia properti?

Jelas! Industri sektor riil akan tertekan dengan kenaikan SBI ini. Khususnya dunia properti yang sudah dihajar dengan kenaikan BBM, ditambah dengan kenaikan harga material, ditambah dengan suku bunga KPR yang menjadi tidak menarik di mata konsumen, ditambah dengan kecenderungan stop lending KPR oleh perbankan. Ibarat bertinju, sudah kena jab, masih kena upper cut. Syukur-syukur masih bisa bertahan dengan double cover, kalau tidak, TKO di ronde-ronde awal.

Sekedar info yang baru saja saya baca dari detikfinance, bahwa harga semen cenderung meningkat dan para kontraktor mengancam untuk putus kontrak. Duh!

Sedih memang. Di saat properti - menurut saya - akan bangkit lagi setelah jab dari BBM yang cukup membuat berdarah-darah. Ternyata dihadapkan dengan suku bunga tinggi dan masih dihadapkan dengan harga material yang cenderung meningkat terus. Padahal minyak malah turun!

Kembali lagi ke imbas terhadap properti Indonesia. Kenaikan SBI akan menekan industri properti karena suku bunga kredit konstruksi pasti akan mengikuti. Kenaikan suku bunga ini tentunya akan menekan margin keuntungan pelaku industri properti yang memang sudah menipis sejak upper cut dari kenaikan material akibat jab dari BBM.

Pasar properti juga akan turun karena suku bunga KPR yang berkisar 14,75% s.d. 17% (bisa menembus di atas 17%) menjadi tidak menarik di mata calon konsumen karena tingginya cicilan. Bahkan bagi dunia perbankan, hal ini juga tidak menguntungkan karena setiap kenaikan suku bunga akan meningkatkan potensi non performing loan.

Bagaimana dengan suku bunga deposito? Otomatis akan naik. Nah, kenaikan ini juga akan menekan industri properti. Karena konsumen atau investor properti melihat suku bunga deposito lebih menarik. Artinya orang yang pegang uang lebih baik uangnya ditaruh di bank yang bunganya tinggi daripada di properti. Atau orang yang ingin beli rumah saat ini, bisa berbelok arah melihat deposito berbunga tinggi.

Pelaku industri properti akan cenderung wait and see, melihat perekonomian saat ini. Industri properti dalam arti kata membeli, membangun dan menjual kembali. Proses membangun dan menjual kembali saat ini tidak menguntungkan dan cenderung stagnan. Di sinilah judul wait and see.

Bagaimana dengan proses membeli? Membeli barang mentah alias tanah kosong, justru ada kemungkinan bergairah. Karena banyak orang membutuhkan hard cash. Hard cash bisa didapat dari menjual aset-aset yang salah satunya adalah tanah. Pebisnis properti yang sudah berpengalaman, sungguh sadar bahwa properti bukan bisnis yang cepat, maka meletakan uang dalam bentuk tanah, bisa dilakukan saat ini dan memperolehnya di tahun-tahun kemudian. Di sinilah celahnya…

Kalau Anda bagaimana? Mari kita berbagi…

Pertumbuhan Pasar Properti di Indonesia : Decoupling atau recoupling?

Sejak pertengahan tahun lalu, banyak kalangan menilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia akan kembali mengalami masa-masa sulit seiring dengan meningkatnya harga minyak serta komoditas lainnya di pasar Internasional yang ditenggarai akan menjadi pemicu melemahnya pertumbuhan ekonomi global. Keadaan tersebut tentu akan memberi dampak bagi perkembangan sektor bisnis dalam negri termasuk sektor properti. Ditambah lagi dengan masih berlanjutnya dampak krisis subprime mortgage di AS yang terus memakan korban lembaga-lembaga keuangan besar di dunia. Seperti apa dampak yang bisa ditimbulkan dari kedua hal tersebut terhadap pertumbuhan pasar properti di Indonesia? Jones Lang LaSalle, konsultan properti Internasional yang berbasis di Chicago, AS mencoba menguraikannya dalam media briefing yang diadakan di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2008. Selain itu, riset Jones Lang LaSalle juga mem-presentasi-kan analisis prospek pertumbuhan pasar properti menjelang penyelenggaraan Pemilu di tahun 2009 yang
akan datang.
Perkiraan para analis bahwa pertumbuhan ekonomi global di tahun 2008 ini akan melambat tentu bukan tanpa alasan. Dimulai dengan krisis subprime mortgage di AS sejak akhir 2006 lalu, hingga pada melonjaknya harga minyak dan komoditas belakangan ini, resesi yang mungkin terjadi diperkirakan akan melanda seluruh kawasan termasuk Asia. Namun bila dibandingkan dengan kawasan lainnya, dampak resesi di Asia, yang kebanyakan merupakan negara-negara berkembang seperti Indonesia, tidak terlalu besar, kata Lucy Rumantir, Chairman Jones Lang LaSalle Indonesia. Merujuk kepada analisis dari World Bank, pertumbuhan ekonomi di negara berkembang akan melambat hanya sedikit dalam 2 tahun kedepan. Lucy menambahkan bahwa dampak kenaikan BBM dan komoditas sehari-hari akan lebih berpengaruh bagi sektor bisnis di Indonesia dibanding dengan dampak krisis subprime mortgage di AS. Dengan demikian, lanjut Lucy, di sektor properti, yang kemungkinan lebih sensitif terimbas dampak resesi tersebut adalah sub-sektor yang rentan terhadap faktor inflasi dan suku bunga, yaitu pasar pusat perbelanjaan dan kondominium. Wendy Haryanto, Head of Retail Services, mengatakan bila sekiranya harga-harga barang terus naik, penurunan daya beli konsumen bisa mempengaruhi ekspansi bisnis peritel sehingga berpotensi mempengaruhi tingkat permintaan pasar. Sementara itu, persaingan di pasar kondominium yang sudah ketat bisa menjadi semakin ketat apabila suku bunga terus naik, dimana investor bisa saja mengalihkan investasinya dari properti ke deposito atau instrumen perbankan lainnya, kata Anton Sitorus, Head of Research di Jones Lang LaSalle Indonesia. Sementara di pasar perkantoran komersial, Nick Van Helden, Country Head Jones Lang LaSalle Indonesia menjelaskan bahwa terlepas dari kemungkinan dampak resesi ekonomi, permintaan dari tenant-tenant besar untuk pindah ke gedung baru yang lebih berkualitas akan terus tumbuh dan mendukung laju permintaan pasar.

Menanggapi pertanyaan sekitar dampak Pemilu 2009 terhadap pertumbuhan pasar properti di Indonesia, Lucy Rumantir mencoba menjelaskannya dengan mengambil contoh pertumbuhan properti di tahun 2004 - ketika Indonesia pertama kali mengadakan Pemilu secara langsung. Pada periode itu justru permintaan di pasar kondominium yang dinilai dari tingkat penjualan dan peluncuran proyek baru meningkat tajam. Bila dikaji lebih dalam, pada saat itu memang ada 2 faktor utama penyebab pertumbuhan tersebut, yaitu tingginya permintaan yang tertahan sejak krisis 1998 (pent-up demand) dan rendahnya suku bunga yang membuat investor beramai-ramai mengalihkan portofolionya ke sektor properti, kata Vivin Harsanto, Head of Strategic Consulting di Jones Lang LaSalle Indonesia. Namun lanjutnya, secara umum sentimen pasar menjelang Pemilu 2004 tidak seburuk yang diperkirakan sebelumnya, sehingga boleh dikatakan bahwa sektor properti bisa melepaskan diri (decoupling) dari isu politik menjelang Pemilu tersebut. Untuk Pemilu 2009 yang akan datang ini, Lucy Rumantir berkeyakinan bahwa respon yang sama akan ditunjukkan oleh pasar properti Indonesia, dimana isu-isu politik diperkirakan tidak akan banyak mempengaruhi pertumbuhan pasar properti. Namun bedanya, kata Lucy, bila di tahun 2004 lalu, pent-up demand sedemikian tinggi dan suku bunga berada di level terendah dalam sejarah, maka dalam 2 tahun kedepan ini pasar properti akan lebih banyak dipengaruhi oleh tingginya persaingan dalam merebut konsumen yang semakin lama semakin kritis. Memang sektor properti di Indonesia belum bisa melepaskan diri sepenuhnya terhadap isu-isu sosial-politik di masyarakat, namun hal itu TIDAK berarti bahwa kedepannya korelasi antara kedua hal tersebut akan semakin kuat (recoupling).

Pelaku Investasi Properti

Pelaku investasi pada real estate atau properti dapat dibagi dalam:

  1. Pengembang (developer)
  2. Pemilik/penghuni
  3. Investor yang mengharapkan keuntungan finansial
  4. Spekulator

Masing-masing pelaku mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.

Profesor Graaskamp memperkenalkan teori yang disebut sebagai ”a conceptual view of the real estate process” yang menggambarkan kondisi yang harus dipenuhi agar penilai dapat melakukan tugas yang diemban. Beliau mengidentifikasikan adanya 3 kategori pelaku agar pasar real estate itu dapat berjalan, yaitu ”pemakai ruangan/space consumer, pengembang/space producers, dan infrastruktur publik/public infrastructure”.

Space Production Group

Space Production Group yang merupakan kelompok yang terdiri dari 3 kelompok kecil utama yaitu skills, material dan capital (modal). Skills dalam hal ini adalah semua perdagangan dan profesi yang memberikan sumbangan terhadap pembangunan dan beroperasinya real estate seperti surveyor, broker, manajer, arsitek, pengacara, penilai, agen pemasaran, dan pedagang yang berskala besar. Material terdiri dari orang-orang yang bertanggung jawab terhadap produksi dari semua komponen pembangunan real estate mulai dari tanah dan semen, sampai dengan sistem manajemen pembangunan yang rumit dan memerlukan keahlian. Capital yang disediakan di pasar real estate dapat tersedia dalam berbagai bentuk yang berbeda, dari kredit yang diberikan oleh perorangan, fasilitas overdraft, KPR, penggunaan ruangan secara bersama-sama dan sebagainya.